Senin, 17 Maret 2008

Schizofrenia

Definisi

Gangguan skizofrenik adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima, dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukan emosi, dan berperilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial.

Kriteria DSM-IV
Gangguan berlangsung selama sedikitnya 6 bulan dan termasuk minimal 1 bulan gejala fase aktif yang melibatkan dua atau lebih hal-hal berikut: waham, halusinasi, bicara tidak teratur, perilaku yang sangat kacau atau katatonik, gejala-gejala negatif (misalnya afek datar, alogika, avolisi)
Kriteria lain:
a. Tergangguanya fungsi sosial dan okupasi
b. Gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan mengesampingkan ciri-ciri psikotik
c. Gangguan ini disebabkan oleh efek fisiologik dari suatu zat atau kondisi medis umum

Gejala umum skizofrenia
1. Waham: keyakinan keliru yang sangat kuat, yang tidak dapat dikurangi dengan menggunakan logika. Waham yang banyak terjadi pada skizofrenia adalah:

- Delusions of reference: menganggap segala ssuatu yang terjadi di lingkungan sekitar mempunyai signifikansi langsung pada seseorang
- Waham kejar (delusions of perception): menganggap orang lain atau institusi mempunyai rencana untuk melawan atau menyerang seseorang
- Delusions of external influences menganggap seseorang dikendalikan atau dikuasai orang lain atau kekuatan dari luar
- Waham somatik: menganggap bahwa penampilan atau fungsi tubuhnya sudah berubah
- Waham kebesaran: menganggap nilai, kekuasaan, pengetahuan, atau identitasnya terlalu tinggi

2. Asosiasi longgar: kurangnya hubungan yang logis antara pikiran dan gagasan, yang dapat tercermin pada berbagai gejala. Gejala pada asosiasi longgar:
- Neologisme: menciptakn kata-kata baru (mis; potlomp, lemopty)
- Word salad: kata-kata dalam kalimat yang tampak berhubungan, tapi yang sebetulnya tidak mempunyai arti koheren (mi; The blue isn’t silly eating upward time)
- Pemikiran tidak logis (paralogis): cara berfikir silogistik yang menyangkal logika (mis; Bunda Maria adalah seorang perawan. Saya seorang perawan. Oleh karena itu saya adalah Bunda Maria
- Ekolalia: pengulangan kata-kata orang lain tanpa sadar
- Ekoprasia: meniru perilaku atau tndakan orang lain tanpa sadar
- Clag association: kata-kata dengan irama yang sama disatukan tanpaarti yang koheren (mis; The sky and pie, for my and die.)
3. Halusinasi: persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indra. Halusinasi pendengaran merupakan halusinasi yang paling banyak terjadi
4. Ilusi: salah menginterpretaikan stimulus lingkungan
5. Depersonalisasi/derealisasi: individu merasa bahwa dirinya sudah berubah secara mendasar
6. Afek datar: tidak adanya respon emosiaonal; afek juga dapat digambarkan sebagai tumpul (respon datar) atau tidak tepat (kebalikan dengan apa yang diharapkan dari suatu situasi)
7. Ambivalensi: adaya konflik atau pertentangan emosi yang menyebabkan sulitnya individu menentukan pilihan keputusan
8. Avolisi: kurangnya motivasi untuk melanjutkan aktivitas yang berorientasi pada tujuan
9. Alogia: berkurangnya pola bicara atau miskin kata-kata
10. Ekoprasia: meniru tindakan orang lain tanpa sadar
11. Anhedonia: kurng senang melakukan aktivitas dan hal-hal lain yang secara normal menyenangkan
12. Pemikiran konkrit: kesulitan berfikir abstrak sehingga ia menginterpretasiak komunikasi orang lain secara harfiah. Pemikiran konkrit dapat diuji dengan meminta orang tersebut menginterpretasikan peribahasa umum

Klasifikasi

-Gejala positif meliputi halusinasi, waham, asosiasi longgar, dan perilaku yang tidak teratur atau aneh

-Gejala negatif meliputi emosi tertahan (afek datar), anhedonia, avolisi,alogia, dan menarik diri

Jenis

1. Skizofrenia paranoid

-Ciri-ciri utamanya adalah wahamyang sistematis atau halusinasi pendengaran

-Individu ini dapat penuh curiga, argumentatif, kasar, dan agresif

-Perilaku kurang regresif, kerusakan social lebih sedikit, dan prognosisnya lebih baik dibanding jenis-jenis lain

2. Skizofrenia hebefrenik

-Ciri-ciri utamanya adalah percakapan dan perilaku yang kacau, serta afek yang datar atau tidak tepat, gangguan asosiasi juga banyak terjadi

-Individu tersebut juga mempunyai sikap yang aneh, menunjukkan perilaku menaik dirisecara social yang ekstrim, mengabaikan hygiene dan penampilan diri

-Awitan biasanya terjadi sebelum 25 tahun dan dapat bersifat kronis

-Perilaku regresif, dengan interaksi social dan kontak dengan realitas yang buruk

3. Skizofrenia katatonik

-Ciri-ciri utamanya adalah ditandai dengan gangguan psikomotor, yang melibatkan imobilitas atau justru aktivitas yang berlebihan

-Stupor katatonik. Individu dapat menunjukan ketidakaktifan, negativisme, dan kelenturan tubuh yang berlebihan (postur abnormal)

-Catatonic excitement melibatkan agitasi yang ekstrim dan dapat disertai dengan ekolalia dan ekopraksia

4. Skizofrenia yang tidak digolongkan

-Ciri-ciri utamanya adalah waham, halusinasi, percakapan yang tidak koheren dan perilaku yang kacau

-Klasifikasi ini digunakan bila kriteria untuk jenis lain tidak terpenuhi

5. Skizofrenia residu

-Ciri-ciri utamanya adalah tidak adanya gejala-gejala akut saat ini, melainkan terjadi di masa lalu

-Dapat terjadi gejala-gejala negative, seperti isolai social yang nyata, menarikdiri dan gangguan fungsi peran

Awitan dan perjalanan penyakit

1. Awitan gejala biasanya terjadi pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Awiatan dapat terjadi bertahap atau tiba-tiba

2. perjalanan penyakit skizofrenia bervariasi, dan dapat sembuh. Sebagian klien dapat sembuh total, sebagian lagi kronis dan dapat disembuhkan

Statistik yang relevan

1. kira-kira 1% dari populasi akan mengalami skizofrenia dalam hidupnya

2. bagi 95 % penderita skizofrenia, penyakit ini berlangsung seumur hidup

3. penderita skizofrenia menempati 25% temapt tidur rawat inap di rumah sakit

4. kira-kira 33%-50% tunawismadi Amerika Serikat menderita skizofrenia

5. lebih dari 50% penderita skizofrenia bermasalah dengan alkohol atau obat-obatan, yang mungkin berusaha mengatasi sendiri gejala stresnya.

Persepsi realitas dan pola komunikasi

1. Cara berfikir psikotik dan pola komunikasi pada klien dengan gangguan skizofrenia menunjukan kerusakan yang berat dalam persepsi mereka terhadap realitas atau fungsi egonya.

2. Individu dengan gangguan ini mungkin tidak menyadari adanya abnormalitas dan mengalami kesulitan dalam mengembangkan wawasan atas suatu masalah. Individu yang mempunyai wawasan akan mempertnyakan persepsi mereka terhadap realitas, pengetahuan tentang penyakit, dan memahami perlunya pengobatan dan bantuan secara periodik dari orang lain.

3. individu dengan gangguan ini memiliki rasa identitas yang buruk dan penurunan harga diri.

4. individu dengan gangguan ini juga mengalami kesulitan dalam menyaring stimulus dari luar sehingga ia tidak mampu memfokuskan perhatiannya pada tugas dan percakapan yang dihadapinya

Hubungan interpersonal dari individu dengan gangguan skizofrenia dicirikan dengan:

  1. Menarik diri dari interaksi (proteksi ego)
  2. Takut berinteraksi (mencerminkan buruknya rasa identitas)
  3. Perasaan ditolak dn kurang percaya terhadap orang lain

Pertimbangan keluarga

  1. Anggota keluarga dari individu dengan skizofrenia juga sangat terpengaruh oleh gangguan ini, dan hidup bersama orang yang menderita skizofrenia tidaklah mudah. Keluarga mengalami stres dan perlu melakukan koping untuk menghadapi berbagai masalah
  2. National alliance for the mentally III (NAMI) memberikan bantuan kepada keluarga dan advokasi pada mereka yang menderita penyakit jiwa yang berat

II. Etiologi
A. Pertimbangan umum
1. Penyebab pasti skizofrenia masih belum jelas. Consensus umum saat ini adalah bahwa gangguan ini disebabkan oleh interksi yang kompeks antar berbagai faktor.
2. Factor – factor yasng telah dipelajari dan diimplikasikan meliputi perdisposisi genetik, abnormalitas perkembangan syaraf, abnormalitas struktur otak, ketidak seombangan neurokmia, dan proses social dan lingkungan.
B. Predisposisi genetik
1. Meskipun genetic merupakan faktor resiko yang siknifikan, belum ada penenda genetic tunggal yang diidentifikasikan. Kemungkinan melibatkan berbagai gen.
2. Penelitian telah berfokus pada kromosom 6, 16, 18, dan 22. Resiko terjangkit skizofrenia bila gangguan ini ada dalam keluarga sebagai berikut:
a. Satu orang tua terkena: resiko 12% sampai 15%
b. Kedua orang tua terkena penyakit ini: resiko 35% sampai 39%
c. Saudara kandung yang terkana resiko 8% sampai10%
d. Kembar dizigotik yang terkena: resiko 15%
e. Kembar monozigotik yang terkena: resiko 50%
C. Abnormalitas perkembangan syaraf
1. Penelitian menunjukan bahwa malformasi janin minor yang terjadi pada awal gestasi berperan dalam manifestasi akhir dari skizofrenia
2. Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan syaraf dan diidentifikasi sebagai resiko yang terus bertambah meliputi:
a. Individu yang ibunya terserang influenza pada trimester kedua
b. Individu yang mengalami trauma dan cedara pada waktu dilahirkan
c. Penganiaan atau truma dimasa bayi atau masa anak – anak awal.
D. Abnormalitas struktur otak
Pada beberapa kelompok penderita skizofrenia, teknik pencitraan otak (CT, MRI, dan PET) telah menunjukan adanya abnormalitas struktur otak yang meliputi:
1. Pembesaran ventrikel
2. Penurunan aliran darah kortikal, truma di korteks prefrontal
3. Penurunan aktifitas metabolic dibagian – bagian otak tertentu
4. Atrofi serebri
E. Ketidakseimbangan neurokimia (neurotransmiter)
1. Dulu penelitian berfokus pada hipotesis dopamin, yang mengatakan bahwa aktifitas dopamine yang berlebihan di bagian kortikal otak, berkaitan dengan gejala positif skizofrenia
2. Penelitian terbaru menunjukan pentingnya neurotransmitter lain, termasuk serotonin, norepineprin, glutamate, dan GABA
3. Homoestasia, atau hubungan antar neuro transmitter, mungkin lebih penting dibandingkan jumlah relatif neurotransmitter tertentu
4. Tempat reseptor untuk neurotransmiter tertentu juga penting. Perubahan jumlah dan jenis reseptor dapat tingkat neurotransmiter. Obat psikotropik dapat mempengaruhi tempat reseptor neurotransmitter dan juga neurotransmitter itu sendiri.
F. Proses psikososial dan lingkungan
1. Teori perkembangan. Ahli teori seperti Freud, Sullivan, dan Erikson mengemukakan bahwa kurangnya perhatian yang hangat dan kasih sayang di tahun – tahun awal kehidupan berperan dalam menyebabkan kurangnya identitas diri, salah interpretasi terhadap realitas, dan menarik diri dan hubungan pada penderita skizofrenia.
2. Teori keluarga. Teori – teori yang berkaitan dengan peran keluarga dalam munculnya skizofrenia belum divalidasi dengan penelitian. Bagian fungsi keluarga yangbtelah diimplikasikan dalam peningkatan angka kekambuhan individu dengan skizofrenia adalah sangat mengekspesikan emosi (high expressed emotion/ HEE). Keluarga dengan ciri ini dianggap terlalu ikut campur secara emosional, kasar dan kritis.
3. Model social ekonomi. Hasil penelitian yang konsisten adalah hubungan yang kuat antara skizofrenia dan status social ekonomi yamg rendah.
4. Model kerentanan stress. Model interaksional yang menyatakan bahwa penderita skizofrenia mempunyai kerentanan biologi dan genetic terhadap skizofrenia. Kerentanan ini, bila disertai dengan pajanan stressor kehidupan, dapat menimbulkan gejala-gejala pada individu tersebut.
III. Penatalaksanaan
A. Pertimbangan umum
1. Kontuinitas perawatan merupakan hal yang penting. Klien dapat menerimsa pengobatan diberbagai tempat, termasuk rumah sakit jiwa akut, rumah sakit jiwa jangka panjang, dan program berbasis komunitas.
2. Tingkat perawatan bergantung pada keparahan gejala ketersediaan dukungan dari keluarga dan social. Pengobatan ini biasanya diberikan di lingkungan dengan sifat restriktif yang paling minimal.
3. Pendekatan menejemen kasus merupakan hal yang penting karena perawatan klien pada umumnya berjangka panjang, membutuhkan kerjasama dengan berbagai penyedia layanan untuk memastikan pelayanan tersebut diberikan secara terkoordinasi.
B. Hospitalisasi pskiatrik jangka pendek digunakan untuk menatalaksankan gejala – gejala akut dan memberikan lingkungan yang aman dan terstruktur serta berbagai pengobatan, termasuk:
1. Pengobatan farmakologik dengan medikasi antipsikotik
2. Menejemen lingkungan
3. Terapi pendukung yang pada umumnya berorientasi pada realitas, dengan pendekatan perilaku kognitif
4. Psikologi edukasi bagi klien dan keluarganya
5. Rencana pemulangan dari rumah sqkit untuk memastikan kontuinitas asuhan.
C. Hospitalisasi psikiatrik jangka panjang
1. Hospitalisasi klien jangka panjang diberikan pada klien dengan persisten yang dapat membahayakan dirinya sendiri atau oang lain.
2. Tujuannya adalah menstabilkan dan memindahkan klien secepatnya kelingkungan yang kurang restriktif
D. Pengobatan berbasis komunitas memberikan layanan komprehensif berikut ini kepada klien dan keluarganya:
1. Perumahan bantuan meliputi perumahan transisi: pengaturan hidup yang kooperatif; crisis community residence; pengasuhan anak angkat; dan board and care home
2. Program day treatmen memberikan terapi kelompok, pelatihan keterampilan social, penetalaksanaan pengobatan, sosialisasi dan rekreasi
3. Terapi pendukung melibatkan seorang menejer kasus dan sejumlah ahli terapi untuk klien dan keluarganya
4. Program psikoedukasi bagi klien, keluarganya dan kelompok – kelompok masyarakat
5. Outreach sevice diadakan untuk menemukan kasus dan memberikan pengobatan preventif bagi individu dan keluarganya yang mengalami peningkatan resiko.
E. Rehabilitasi psikososial
1. Rehabilitasi psikososial menekankan perkembangan keterampilan dan dukungan yang diperlukan untuk hidup, belajar dan bekerja dengan baik di lingkungan komunitas
2. Pendekatan ini dapat menjadi bagian dari program pengobatan diberbagai tempat pemberian pelayanan. Penggunaan gedung pertemuan tempat klien dapat berkumpul untuk bekerja sama dan bersosialisasi sambil mempelajari keterampilan yang diperlukan, dapat menjadi bagian dari layanan masyarakat dibeberapa tempat.

PREVENSI (PENCEGAHAN)

Perkembangan kepribadian seseorang ditentukan oleh interaksi banyak faktor, dan dari hasil (resultante) interaksi tersebut dapat terbentuk kepribadian yang kuat, tangguh, matang (mature), dan integrative, sehingga yang bersangkutan tidak mudah jatuh sakit, atau sebaliknya terbentuk kepribadian yang rentan (vulnerable) terhadap gangguan jiwa.

Kepribadian menurut faham kesehatan jiwa adalah segala corak kebiasaan manusia yang terhimpun dalam dirinya, yang digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan, baik yang timbul dari lingkunganya (dunia luar) maupun yang datang dari dirinya sendiri (dunia dalam), sehingga corak dan kebiasaan itu merupakan satu kesatuan fungsional yang khas untuk individu itu. Seseorang dikatakan mengalami gangguan kepribadian adalah apabila kepribadian seseorang itu tidak lagi fleksibel dan sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya sehingga mengakibatkan hendaya (impairment) dalam fungsi dan hubungan sosial, pekerjaan atau sekolahnya, dan biasanya disertai penderitaan subyektif bagi dirinya (Setyonegoro, K, 1981).

Dalam kaitannya dengan pembentukan kepribadian seseorang dan penyakit (gangguan jiwa), Kusmanto Setyonegoro (1967) melakukan pendekatan yang disebut “elektik-holistik”. Khususnya pendekatan holistik yang dimaksudkan itu mencakup 3 pilar; yaitu pilar organobiologik, pilar psiko-edukatif, dan pilar sosio-budaya. Selanjutnya dikemukakan bahwa interaksi dari ketiga pilar tersebut akan menunjukan tipe kepribadian seseorang. Sedangkan yang dimaksud dengan elektik adalah merupakan pendalaman dari ketiga pilar tersebut diatas. Untuk memahami suatu bentuk gangguan jiwa dan menanganinya cukup dilakukan dengan pendekatan holistik, begitu juga halnya dengan terapi. Secara skematis interaksi ketiga pilar tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Psikoedukatif


Flowchart: Connector: Psikoedukatif

Sosial

Budaya


Flowchart: Connector: Sosial Budaya

Organobiologik


Flowchart: Connector: Organobiologik

(Kusumanto Setyonegoro, 1967)

Dalam kaitannya dengan hal tersebut diatas Dadang Hawari (1993) melengkapi pendekatan holiastik itu dengan 1 pilar lagi yaitu pilar psikoreligius (agama/spiritual) sehingga perkembangan kepribadian seseorang manusia itu ditentukan oleh interaksi dari 4 pilar. Hal ini sesuai dengan batasan sehat oleh WHO (1984) yaitu sehat fisik, sehat jiwa/mental, sehat sosial dan sehat spiritual, yang juga telah diadopsi oleh APA (American Psychiatric Association, 1992) yaitu bio-psiko-sosio-spiritual. Secara skematis pendekatan holistik yang dikonsepkan oleh Dadang Hawari (1993) dapat digambarkan sebagai berikut:

Anak (manusia)


Flowchart: Connector: Anak (manusia)

Sosial

Budaya


Flowchart: Connector: Sosial Budaya

Psiko- Edukatif


Flowchart: Connector: Psiko- Edukatif

Organobiologik


Flowchart: Connector: Organobiologik

Agama/ spiritual


Flowchart: Connector: Agama/ spiritual

(Dadang Hawari, 1993)

Oleh karena itu Dadang Hawari dalam mengkaji berbagai penyakit khususnya gangguan jiwa termasuk Skizofrenia baik dari segi prevensi, terapi dan rehabilitasi selalu menggunakan pendekatan holistik dengan keempat pilar tersebut.

ORGANOBIOLOGIK

Untuk menghindari kemungkinan adanya faktor genetik (turunan), maka perlu diteliti riwayat atau silsilah keluarga, misalnya:

  1. Bila dalam silsilah suatu keluarga ditemukan salah seorang menderita skizofrenia maka hendaknya bila ia ingin menikah sebaiknya dengan orang dari keluarga jauh yang dalam silsilah keluarganya tidak ada anggota keluarga yang menderita skizofrenia.
  2. Meskipun dalam silsilah keluarga tidak ada anggota keluarga yang menderita skizofrenia, bila salah seorang keluarga hendak menikah dengan orang lain yang juga dalam silsilah keluarganya tidak ada yang menderita skizofrenia; maka sebaiknya kedua keluarga tadi merupakan keluarga yang jauh bukan keluarga dekat yang masih bertalian darah.
  3. Sesama penderita atau mantan skizofrenia sebaiknya tidak saling menikah.

Untuk menghindari kemungkinan adanya faktor epigenetik, maka hendaknya selama kehamilan seorang ibu perlu mendapat perawatan yang baik agar tidak terjadi gangguan pada perkembangan otak janin, misalnya:

a. Perlu dicegah adanya infeksi virus atau infeksi penyakit lainnya.

b. Perlu dicegah menurunnya auto-immune yang mungkin disebabkan oleh infeksi selama kehamilan.

c. Perlu dicegah berbagai macam komplikasi kandungan.

d. Gizi makanan harus cukup dan berimbang, terutama gizi protein sejak trimester pertama kehamilan. Zat protein amat penting dan merupakan bahan baku bagi perkembangan sel-sel otak yang dimulai sejak kehamilan hingga usia bayi 5 tahun (usia balita), upayakan selama 2 tahun bayi mendapat ASI.

e. Selama kehamilan upayakan kondisi mental emosional ibu dalam keadaan sehat atau stabil (bebas dari stress, cemas dan depresi).

Sehubungan dengan hal tersebut di atas ibu hamil hendaknya memeriksakan kehamilannya ke dokter ahli kandungan dan kebidanan secara teratur, dan bila perlu juga ke psikiater. Selain kepada ibu hamil, kepada suami juga diberikan penyuluhan agar menjaga keharmonisan keluarga demi kestabilan mental emosional istrinya.

PSIKO-EDUKATIF

Dalam perkembangan jiwa atau kepribadian seseorang dari mulai bayi hingga remaja (18 tahun) hendaknya tidak hanya berkembang secara baik dalam arti fisik tetapi juga terutama secara kejiwaannya (psikologik) . Perkembangan jiwa/kepribadian anak tergantung bagaimana kedua orangtua mendidiknya (faktor psiko-edukatif). Kedua orangtua merupakan tokoh imitasi dan identifikasi anak. Pendidikan anak hendaknya sedemikian rupa sehingga dapat dihindari terbentuknya sifat atau ciri kepribadian yang rawan atau rentan bagi terjadinya gangguan jiwa skozofrenia, misalnya yang tergolong kepribadian promorbid (kepribadian paranoid, skozoid, skizotipal dan ambang). Dalam hal ini terjadinya kelainan dalam perkembangan jiwa/kepribadian anak lebih tergantuing dari faktor cara orangtua mendidik dan contoh suri tauladan yang diberikannya, atau dengan kata lain faktor parental example lebih penting daripada parental genes.

Tumbuh kembang anak memerlukan dua jenis makanan, yaitu makanan yang bergizi untuk pertumbuhan otak dan fisiknya, dan makanan dalam bentuk “gizi mental”. Bentuk makanan yang kedua ini berupa kasih sayang, perhatian, pendidikan, dan pembinaan yang bersifat kejiwaan/psikologik (non fisik), yang dapat diberikan oleh kedua orangtua dalam kehidupan sehari-harinya. Oleh karenanya kedua orangtua harus mempunyai waktu untuk membina komunikasi yang baik dengan anak; sebab “warisan paling berharga yang dapat diberikan oleh orangtua kepada anak-anaknya, adalah waktu beberapa menit setiap harinya”.

Anak dengan pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sehari-hari bersama orangtuanya merupakan unsur dimana anak membina dan menciptakan realitas. Anak dapat belajar bagaimana sesuatu itu dilihat, diraba, didengar, dicium dan dirasa. Pengalaman-pengalaman ini merupakan pilar-pilar terpenting bagi pembinaan mental-emosional dan mental-intelektual anak. Akan berbeda hasilnya manakala hal-hal tersebut diatas diberikan oleh kedua orangtua kepada anaknya, apakah dengan rasa kasih sayang, rasa gelisah, rasa marah atau sebaliknya tanpa rasa.

Beberapa hal berikut ini adalah sikap-sikap yang merupakan daya kemampuan dan kompetensi anak yang perlu mendapat perhatian kedua orangtua, yaitu:

  1. Sikap pertama adalah kemampuan untuk percaya pada kebaikan orang lain. Istilah yang diberikan Ericson (1927) adalah kepercayaan dasar (basic trust). Anak yang mengalami banyak waktu tanpa kata-kata, tanpa diajak bicara, tanpa senyum dan tanpa interaksi dengan sekelilingnya, lama kelamaan akan mengundurkan diri dari pergaulan. Anak akan menyendiri dan puas dengan dirinya sendiri, tidak lagi memerlukan dan memperdulikan dunia luar dan akibatnya amat disayangkan kelak bila telah menginjak dewasa. Anak-anak seperti ini kelak tidak lagi mampu menjadi calon anggota masyarakat yang baik di masa depan, tidak mengerti persyaratan apa yang diperlukan utnuk menjadi manusia yang baik dan potensial, mereka akan menderita kelainan dalam peran sosialnya di masyarakat.
  2. Sikap kedua adalah sikap terbuka. Kalau sikap ini digabungkan dengan sikap kepercayaan dasar diatas, anak akan menjadi terbuka dan terus terang terhadap orang-orang disekitarnya. Sikap ini akan berhasil menciptakan dorongan dan rangsangan terhadap sikap ingin tahu dan sikap mau belajar. Keadaan ini dinamakan otonomi dan inisiatif. Perkembangan sikap ini akan terhambat bila terjadi kekurangan pada rangsangan-rangsangan (stimuli) mental, misalnya karena kemiskinan, terlalu banyak anak, atau pada ibu yang menderita gangguan jiwa (depresi).
  3. Sikap yang ketiga adalah anak mampu menerima kata tidak atau kemampuan pengendalian diri terhadap orang lain atau terhadap hal-hal yang mengecewakan. Jika sikap ini tidak ada, anak tidak bisa bergaul dan belajar di sekolah. Anak selalu dimanjakan dan selalu dituruti semua keinginannya, dan anak tidak pernah mendengarkan kata tidak atau penolakan, akan menimbulkan banyak masalah dalam kehidupan sosialnya kelak dikemudian hari.

Keterpaduan ketiga sikap di atas yaitu kepercayaan dasar, keterbukaan, dan kemampuan menerima kata tidak, akan menghasilkan anggota masyarakat baru dan sehat, mempunyai potensi untuk bias sekolah dan bergaul dengan baik di dalam maupun di luar keluarganya tanpa pengawasan ketat, mampu berdiri sendiri dan mampu menanggulangi serta memperoleh penyelesaian yang sehat dari berbagai konflik internal maupun eksternal pada dirinya.

Factor psiko-edukatif dari sudut pandang psikodinamik amat penting bagi pembentukan perkembangan jiwa/kepribadian anak yang berkualitas yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut (D. Hawari, 1999):

a. tingkat kecerdasan atau IQ yang tinggi, yang dapat dicapai dengan rajin belajar dan banyak membaca.

b. Tingkat emosional atau EQ yang tinggi, artinya kemampuanpengendalian diri, sabar, tekun, dan tindakannya lebih rasional daripada emosional.

c. Tingkat kreativittas atau CQ (Creativity Quotient) yang tinggi, artinya anak tersebut memiliki daya cipta/kreasi yang bermanfaat bagi diri dirinya, keluarga, dan masyarakat. Orang tua perlua merangsang dan memotivasi CQ anak adar dapat berkembang.

d. Tingkat kecerdasan keagamaan (spoiritual) atau RQ (Religiosity Quotient) yang tinggi, anak tidak hanya beragama tetapi juga bertaqwa dalam pengalaman kehidupannya sehari-hari. Dan, kelak bila telah dewasa ia dapat mengetahui dan membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak, dan mana yang halal dan haram. Sehingga, perjalanan hidupnya dipandu oleh nilai-nilai moral, susila dan etika.

Bila seseorang memiliki ke-empat cirri-ciri tersebut di atas, diharapkan bila kelak berusia remaja dan dewasa, yang bersangkutan akan mempunyai jiwa yang sehat, integritas kepribadian yang kuat, sehiungga mampu beradaptasi, berinteraksi, dan mampu menghadapi problem kehidupan yang berasal dari dirinya (internal) maupun dari luar (eksternal).

PSIKORELIGIUS

D.B. Larson, dkk (1992) dalam penelitiannya sebagaimana termuat dalam “Religious Commitment and Health” (APA, 1992), menyatakan antara lain bahwa agama amat penting dalam pencegahan agar seseorang tidak mudah jatuh sakit, meningkatkan kemampuan seseorng dalam mengatasi penderitaan bila ia sedang sakit serta mempercepat penyembuhan selain medis yang diberikan. Sementara itu Snyderman (1996) menyatakan bahwa terapu medis tanpa agama, tidak lengkap; sebaliknya agama saja tanpa terapi medis, tidak efektif.

Manfaat komitmen agama tidak hanya di bidang penyakiit fisik, tetapi juga di bidang kesehatan jiwa. Dua studi epidomiologik yang luas telah dilakukan terhadap penduduk, untuk mengetahui sejauh mana penduduk menderita tekanan jkejiwaan/mental (psychological distress). Dari studi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa pada mereka yang religius jauh kurang menderita sters dibandingkan dengan kelompok penduduk yang tidak/kurang religius (Lindesthal, Stark, 1971).

Dalam kaitannya antara agama dan kesehatan jiwa Concellaro dan Meier (1983) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dibandingkan dengan kelompok control, kelompok Skizofrenia tidak menjalankan agamanya dan tidak seraji kelompok control. Hasil temuan ini adalah sebagai akibat ketidak harmonisan keluarga dan pengajaran agama yang tidak tepat yang berakibat persepsi terhadap Tuhan bebrbeda dengan kelompok control.

Manusia sebagai makhluk fitrah, diakui oleh H. Clinebell (1981), yang dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa pada setiap diri manusia pada hakekatnya ada kebutuhan dasar kerohanian. Setiap orang membutuhkan rasa aman, tenag, tentram, terlindung; bebas dari rasa cemas, ketakutan, depresi, stress dan lain sebagainya. Nagi mereka yang beragama kebutuhan kerohanian ini dapat diperoleh lewat agam, namun bagi mereka yang sekuler da mengingkarinya, menempuh lewat penyalahgunaan NAZA yang pada gilirannya dapat menimbulkan ketergantungan dengan segala macam dampaknya.bila kebutuhan dasar kerohanian ini tidak terpenuhi, maka ketahanan jiwa/mental yang bersangkutan tidak sekuat kebutuhan kerohaniannya.

PSIKOSOSIAL

Untuk menghindari seseorang dari jatuh sakit, maka factor Stressor psikososial dapat dihindari atau ditanggulangi. Adapula bentuk stressor psikososial yang dapat dialami oleh anak selama tumguh kembangnya dalam keluarga, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi perkembangan jiwa/kepribadian anak. Seyogyanya anak tumbuh kembang dalam keluarga sakinah dan bukan hidupo dibesarkan dalam keluarga disfungsi.

Disfungsi keluarga yang dimaksud adalah kondisi keluarga dengan cirri-ciri:

a. keluarga tidak utuh (broken home), misalnya kematian salah satu atau kedua orang tua, kedua orang tua terpisah (separate) atau bercerai (divorce)

b. kehidupan perkawinan kedua orang tua tidak baik (poor marriage). Hubungan orang tua anak tidak baik (poor parent-child relationship).

c. Suasana rumah tangga yang tegang dan tanpa kehangatan (high tension and low warmth). Orang tua sibuk dan jarang di rumah.

d. Salah satu atau kedua orangtua mempunyai kelainan kepribadian atau gangguan jiwa.

Agar anak tumbuh kenbang sehat baik fisik, social dan spiritual, hendaknya diciptakan rumah tangga yang sehat dan bahagia agar kepribadian anak matang dan kuat sehingga tidak mudah jatuh sakit. N. Stinnet dan J. De Frain (1987) dalam studinya, mengemukakan enam hal sebagai suatu pegangan atau criteria membina keluarga sehat dan bahagia, yaitu:

1. ciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.

2. adakan waktu bersama dalam keluarga.

3. ciptakan hubungan baik antar anggota keluaraga.

4. keluarga hsebagai unit social yang terkecil ikatannya harus erat dan kuat, jagan longgar dan rapuh.

5. harus saling menghargai sesame keluarga.

6. bila dalam keluarga mengalami krisis, maka prioritas utama adalah keluhan keluarga dan bila diperlukan berkonsultasi kepaa ahlinya.

Dalam kehidupan sehari-hari anak tumbuh kembang di tiga tempt, yaitu rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat sosialnya. Kondisi social di masing-masing tempat tersebut akan berinteraksi satu dengan lainnya dan mempengaruhi timbuh kembang keluarga, sekolah ataupun pergaulan sosialnya tidak kondusif (pengaruh buruk), maka resiko terganggunya perkembangan jiwa/kepribadian anak kea rah yang baik dan sehat akan semakin besar.

Maka untuk mencegahnya menciptakan keluarga harmonis, lembaga pendidikan yang baik dan lingkungan pergaulan social yang seht merupakan syarat bagi tumbuh kembang anak untuk mencapai kepribadian yang tangguh, dan terhindar dari terbentuknya Kepribadian Pramorbid.

keluarga


anak


masyarakat


sekolah